Kotbah Romo Yosephus I. Iswarahadi, SJ

”Komunikasi yang Menguatkan.” Ekaristi Tgl. 16 Mei 2010 Injil Yoh 17 : 20 - 26 Tadi menjelang misa ini telah kami putarkan sebuah video Klip...

Sabtu, 10 Juli 2010

Kotbah Romo Stephanus Hari Suparwito, SJ

" Menjadi Sarana Pewarta Keselamatan"
Ekaristi Tgl 24 Januari 2010
Injil Lukas 1 : 1 – 4; 4 : 14 – 21


Untuk menyampaikan kabar baik, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Bapak ibu dan saudara-saudariku yang terkasih, bacaan Injil minggu hari ini menantang kita, menantang kita untuk menjadikan kita sebagai pewarta, bahwa tahun rahmat Tuhan sudah datang. Pewarta kabar gembira, pewarta kabar baik, keselamatan bagi semua orang.
Kalau kita lihat sepertinya kok apa yang kita ketahui di dunia ini seakan-akan tahun rahmat Tuhan itu belum datang. Seakan-akan bahwa kese-lamatan itu belum nampak di antara kita. Beberapa hari yang lalu kita di- guncangkan dengan berita gempa di Haiti. Beberapa hari yang lalu kita digemparkan dengan kamar dari Artalita, Ayin. Beberapa hari yang lalu kita digemparkan dengan peristiwa sporter bonek, Persebaya. Lalu di mana itu keselamatan, lalu di mana itu kebahagiaan, lalu di mana tahun rahmat Tuhan? Yang dikatakan sudah datang, kalau akhirnya yang kita lihat adalah bencana, ketidakadilan, ketidak jujuran, kejahatan, yang ada dan bahkan mungkin semakin merajalela di dunia ini. Itulah yang tadi saya katakan bahwa bacaan ini menantang kita sebenarnya, menantang kita apakah kita tetap setia tanpa putus asa, tetap yakin beriman, bahwa tahun rahmat Tuhan sudah datang. Bahwa keselamatan itu ada di antara kita di dunia ini. Dan kitalah pewartaNya. Ketika kita dibaptis sebenarnya kita dipersatukan dengan tugas-tugas yang diterima oleh Tuhan sendiri. Dalam bacaan pertama tadi, kita melihat bagaimana kita disatukan dalam pembaptisan, dipersatukan dengan apa yang dahulu sudah diterima juga oleh Yesus. Dan kalau kita cermat sebenarnya bacaan Injil yang baru saja kita dengar itu, perikop sebelumnya menceritakan tentang pembaptisan Tuhan. Kemudian dilanjutkan dengan pencobaan Tuhan di padang gurun. Kemudian perikop yang kita baca tadi itu muncul dan berikutnya adalah perikop di mana Tuhan sendiri ditolak oleh orang-orang Nazaret.
“Siapa kamu itu, kamu itu kan anaknya Yusuf, tukang kayu, tetangga kita, mengenal semua keluarganya. Lalu kok bisa-bisanya kamu mengatakan bahwa tahun rahmat Tuhan sudah datang, menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada para tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta. Kalau kita kembali kepada situasi hidup kita, rasa-rasanya kok sepertinya sia-sia.
“Sia-sia romo, kalau kita mau mewartakan kabar baik, wong situasinya seperti ini. Mana tidak ada lagi keselamatan. Seakan-akan ngoyoworo. Kita sudah berusaha tapi hasilnya sama saja.”
Tetapi pertanyaannya adalah apakah dengan begitu lalu kita duduk tenang, duduk manis, apakah dengan begitu lalu kita nglokro? Tidak lagi menjadi pewarta kabar sukacita. Tidak lagi menjadi pewarta bahwa tahun rahmat Tuhan sudah datang. Pembaptisan seharusnya menjadi peneguhan bagi kita, bahwa kita diikutsertakan dalam suka duka Tuhan. Kita dilibatkan dalam tugas perutusan Tuhan sendiri dan itu berarti kita harus sadar konsekuensi apa yang kita terima. Konsekuensi untuk dilecehkan, konsekuensi untuk tidak diterima, konsekuensi untuk dikatakan sok suci. Konsekuensi tidak diterima oleh lingkungan kita. Pertanyaan sekarang adalah: berani tidak kita melakukan itu? Berani tidak kita mengatakan bahwa ini yang adil, itu yang tidak adil. Berani tidak mengatakan bahwa ini tidak jujur, itu yang jujur. Mungkin kita tidak perlu pergi ke Haiti, mungkin kita tidak perlu berdemo di depan rutan tempat Artaliyta singgah. Tetapi kita dapat melihat dalam keluarga kita sendiri, di tempat kerja kita. Apakah kita sudah jujur kepada isteri, kepada suami, kepada anak-anak. Apakah kita sudah jujur kepada bawahan kita di tempat kerja, apakah kita sudah adil kepada mereka semuanya itu ? Bahkan kalau sekarang orang mulai egois, tidak memberi perhatian kepada sesamanya. Apakah aku memberi perhatian pada sesamaku, orang yang tinggal di dekatku, orang yang hidup kesehariannya ketemu dengan aku?
Bapak-ibu dan saudari-saudariku terkasih, suatu kali ada seorang pastor. Romo ini begitu perhatian, pastor ini begitu perhatian kepada umatnya. Dia mengenal umatnya dengan baik satu persatu di kenal dengan baik. Dan tentu saja karena umatnya itu beraneka ragam maka ada umatnya yang pemabuk. Dia ingat bener bahwa umat itu adalah seorang pemabuk, tetapi umat ini juga rajin pergi ke gereja.
Suatu kali malam orang ini mabuk-mabukan dan paginya pergi ke gereja dan dia duduk di bagian depan, tidak berarti yang duduk di bagian depan ini tadi malem mabuk-mabukan. Ketika romo ini tahu bahwa umat tadi matanya masih merah, jalannya sempoyongan maka dia mengatakan tadi malam pasti mabuk ini. Maka dalam kotbahnya dia mengatakan begini, “Bapak ibu dan saudara-saudariku yang terkasih kita harus hati-hati, setan itu ada di depan kita.”
Romonya konfrontasi, “Daripada begitu saya tak pindah ke tengah.” Maka dia pindah ke tengah.
Romonya meneruskan, “Bapak-ibu dan saudara-saudara terkasih ingatlah bahwa setan itu tidak hanya di depan kita tetapi setan itu ada di tengah-tengah kita.”
Dia semakin panas hatinya. “Kurang ajar romo ini ngrasani, dari pada begitu aku tak pindah ke belakang ah siapa tahu kan tidak kelihatan dibelakang.” Maka dia jalan ke belakang. Ketika ia jalan ke belakang, romonya mengatakan begini, “Bapak-ibu dan saudara-saudariku yang terkasih, sekali lagi saya katakan, bahwa setan itu tidak hanya ada di depan, tidak hanya ada di tengah-tengah kita, tetapi setan itu sekarang berjalan ke belakang.”
Dan dia dengan marah sekali keluar dari gereja dan mengatakan, “Yooo...nyindir terus katanya begitu”
Apa yang ingin saya katakan, ketika kita dibaptis, ketika kita diikutsertakan dalam tugas-tugas Yesus dan ketika kita menerima konsekwensi untuk tidak diterima apakah kita putus asa dengan kejadian semacam itu. Ataukah kita sebaliknya kita tetap setia mewartakan bahwa karya keselamatan Tuhan sudah datang, bahwa Allah itu bekerja di dunia ini dalam situasi apapun. Ataukah sebaliknya justru kita mengatakan yah sia-sia, sia-sia aku dibaptis dulu, sia-sia aku mewartakan, untuk apa lagi. Karena dunia rupanya seperti ini.
Kita dipanggil untuk setia mewartakan karya keselamatan Allah. Kita dipanggil untuk terus menerus tanpa putusasa mewartakan bahwa Allah sungguh sudah datang Allah sungguh berkarya di tengah-tengah kita. Dan kita dikuatkan oleh karena Roh Allah sendiri, roh yang sama yang juga diterima oleh Yesus pada saat pembaptisan, roh yang selalu menghidupkan kita. Roh yang selalu menyemangati kita. Roh yang selalu membimbing kita. Roh itulah yang hidup dalam diri kita. Maka kita bisa bertanya kalau kita sudah dibaptis lima puluh, lima belas, tiga puluh tahun, pertanyaan adalah, apakah roh Allah itu tetap hidup menyemangati aku, menyemangati kita sehingga kita tetap setia tanpa putus asa menjadi pewarta tahun rahmat Tuhan sudah datang, tahun di mana Allah berkarya, keselamatan ada di tengah-tengah kita? Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar