Kotbah Romo Yosephus I. Iswarahadi, SJ

”Komunikasi yang Menguatkan.” Ekaristi Tgl. 16 Mei 2010 Injil Yoh 17 : 20 - 26 Tadi menjelang misa ini telah kami putarkan sebuah video Klip...

Sabtu, 10 Juli 2010

Kotabah Romo Lucianus Suharjanto, SJ

”Sabda Allah yang menguatkan. ”
Ekaristi Tgl 21 Februri 2010
Injil Lukas 4 : 1 – 13

Saudara-saudari godaan yang paling berat adalah pencobaan terakhir. Yakni ketika orang di goda untuk melakukan hal yang benar tetapi arah dasarnya keliru. This is the last stention to do the right this for the wrong reason kata B Eliof, benar bahwa dengan mengubah batu menjadi roti Yesus bisa menunjukkan kepada mata banyak orang bahwa Dia adalah Anak Allah. Tetapi hal tersebut bagi Yesus adalah keliru secara mendasar karena pembuktian bahwa Dia adalah Anak Allah bukan dilakukan dengan mengubah batu menjadi roti. Melainkan dengan memanggul salib tergantung di sana wafat dan kemudian dibangkitkan pada hari yang ketiga. Dan memang demikianlah itu kisah kitab Suci.
Justru ketika Yesus menyerahkan nyawanya di puncak salib saat itulah prajurit berkata, “ Sungguh orang ini adalah Anak Allah.” Semua godaan kepada Yesus, dipadang gurun bertujuan satu, yakni agar Yesus menghindari salib. Seperti itu jugalah tujuan semua godaan yakni agar kita patuh dan tidak jadi memeluk salib. Semua godaan di padang gurun ini akan masih mengaung keras, di taman Getsemani ketika itu Yesus berdoa kepada BapaNya, “Kalau mungkin lepaskanlah cawan ini dari padaku. Yesus sadar betul bahwa salib itulah tanda sah, bahwa seseorang sungguh mengabdi Allah.
Dan saudara – saudari pada minggu Prapaskah pertama, Gereja mengajak seluruh umat untuk langsung memriksa lembar-lembar pengalaman, sisi-sisi batin sudut-sudut kebiasaan yang membuat kita tidak siap atau gamang untuk mengikuti jalan salib Yesus. Seperti apakah salib itu.
Perkawinan itu urusan kue, sebuah judul cerita pendek karya seorang pengarang Afrika terkenal Jinwa Ajj yang juga menulis novel Thing about fault, dalam cerpennya ia berkisah, tentang Okekey yang mendapat surat dari menantunya. Dikabarkan bahwa sekarang dua cucunya sudah besar dan ingin melihat kakeknya itu seperti apa? Kedua cucunya ini adalah keturunan anak laki-laki, yang sudah lama diusirnya pergi dari rumah, karena nekat mengawini anak perempuan dari suku lain. Sejak pengusiran itu mereka tidak pernah bertemu dan cucu-cucu ini juga tidak pernah melihat Okekey kakeknya. Sekarang Okekey berpikir keras. Disatu pihak, di ingin melunakkan hatinya saja, dan menerima cucu menantu dan anaknya kembali kerumah. Wis Tego larane ora tego patine. Bagaimanapun dia adalah darah dagingku sendiri. Dia juga merasa takut sekarang sudah tua. Jangan-jangan kalau menjelang ajal nanti tidak ada satupun orang menunggu dia disampingnya. Di lain pihak dia adalah kepala suku yang harus memegang teguh kata prilaku sukunya, yakni bahwa orang harus menikah dengan orang sesukunya. Itulah cara hidup terbaik dipadang gurun demi terhindar dari penyakit-penyakit yang dibawa oleh suku lain. Mengendurkan pendiriannya Okekey merasa akan menjadi orang kalah. Dan kekalahan seorang kepala suku adalah kekalahan seluruh bangsanya. Lagi pula sebagai kepala keluarga bagaimanakah dia akan menunjukkan kelelakiannya kalau bukan dengan bersiteguh pada pendiriannya.
Bagi Okekey tersedia kemungkinan hidup yang lebih baik berkumpul dengan cucu menantu dan anaknya. Dalam suasana relasi yang lebih gembira, saling menerima. Tetapi untuk memperoleh hadiah ini dia harus menanggung salib, yakni mengalah. Dengan melonggarkan prinsip-prinsip susila sukunya, dan itu menyakitkan bagi dia. Merendahkan hati untuk menerima bentuk kekalahan itu. Sesederhana itulah salib.
Tetapi telah menjadi pengetahuan umum bukan pencobaan – pencobaan yang besar yang menghancurkan kita, melainkan yang kecil-kecil seperti itu. Mengapa kita gamang dan takut padahal kecil – kecillah salib kita. Saudara-saudari yang membuat salib itu menakutkan adalah momoknya. Momok Okekey adalah perkiraannya bahwa kalau mengalah dia akan kehilangan martabatnya sebagai kepala suku. Kehilangan harga dirinya dan runtuh segala sesuatu yang telah dibangunnya selama ini, itu momoknya.
Yang namanya momok itu tidak nyata, tetapi menakutkan dan seolah-olah ada. Ibaratnya seperti kalau kita berjalan di waktu malam, di bawah pohon bambu yang angker, tiba-tiba mak prinding.. gitoh itu mengkorok bulu kuduk berdiri, seolah-olah dibelakang itu ada hantu besar hitam, geruyuk-geruyuk mendekati akan nyewol. Hantu-hantuan seperti ini bisa hilang seketika kalau kita noleh, balik ke belakang dan melihat. Kalau dilihat pasti tidak ada apa-apa. Kosong belaka. Dan seperti itulah sifat semua godaan. Kosong belaka tidak nyata, tidak ada isinya.
Barang kali seperti anak asrama yang ingin sekali pulang minta ijin, karena bayanganya kalau pulang itu asyik sekali. Nanti begitu sampai di rumah dua jam, tiga jam sudah bosen pengin balik ke asrama lagi. Atau kalau kita sedang puasa, jambu di depan rumah itu rasanya seger banget. Kalau puasa, kalau nggak puasa ya nggak begitu, padahal juga jambu sama saja rasanya. Setan itu bawannya dua. Yang satu momok untuk menakut-nakuti, dan iming-imging untuk menggiurkan. Tetapi cirinya satu, semakin dipandang semakin kelihatan kosongnya dan bohongnya. Oleh karena itu setan tadi menggoda Yesus, mengawali kalimatnya dengan kata jika, andaikan, asalkan, karena apa? Karena janjinya kosong belaka, tidak akan di penuhi jika, jika akal asal.
Nah Tuhan itu sebaliknya. Semakin di dekati, semakin di dalami, semakin dilihat, semakin diikuti juga dalam jalan salibnya, semakin ada dan semakin nyata. dan begitulah pengalaman banyak orang. Begitu kaki sudah melangkah tangan sudah mengembang, untuk merangkul salib saat itu kekuatannya menjadi berlipat-lipat, seolah-olah ada tangan yang mendorong dari belakang ikut nyengkuyung. Bahkan orang mengalami telah melakukan sesuatu di luar kemampuannya sendiri. Keperibadiannya menjadi utuh, menjadi matang, dan karena salib direngkuhnya itu menjadi jelaslah janji baptis yang pernah dulu diucapkan, sekarang menjadi jelas bahwa dia adalah putra-putri Allah. Seperti yang dialami oleh bangsa Israel, ketika keluar dari Mesir. Tuhan membawa salib keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat, dengan lengan yang teracung dengan kedahsyatan yang besar, dengan tanda-tanda serta dengan mukjizat-mukjizat. Seperti itulah yang dialami oleh semua orang yang merengkuh salib. Mengalami mukjizat-mukjizat sepanjang jalan. Yang kita butuhkan adalah kerendahan hati untuk mengamini segala sesuatu yang lebih membawa kemuliaan Allah juga kalau itu beresiko salib. Seperti kata Erik Wong yang disebut kaya, itu bukan mereka yang mampu memiliki sebanyak-banyaknya tetapi mereka yang mampu memberikan sebanyak-banykanya. Amin.

1 komentar:

  1. Tulisan-tulisan Anda sangat inspiratif. Dalam rangka memuculkan penulis-penulis Kristen kreatif, akan diselenggarakan festival penulis dan pembaca kristiani. Salah satu pre-event adalah lomba menulis cerpen dan novelet berdasar Alkitab. Anda mungkin berminat untuk ikut? Info lengkap dapat Anda klik di Lomba Menulis Cerpen dan Novelet Berdasar Alkitab

    BalasHapus