Kotbah Romo Yosephus I. Iswarahadi, SJ

”Komunikasi yang Menguatkan.” Ekaristi Tgl. 16 Mei 2010 Injil Yoh 17 : 20 - 26 Tadi menjelang misa ini telah kami putarkan sebuah video Klip...

Sabtu, 14 November 2009

Kotbah Romo R.M Wisnumurti, SJ

“Pendengar dan pelaksana sabda”
Injil Markus 7 : 18a.14-15.21-23
Ekaristi Tgl 30 Agustus 2009

Ibu-Bapak, saudari-saudara anak-anak yang terkasih. Ketika membaca kembali dan merenung-renungkan kutipan Injil dan bacaan hari ini, saya teringat dalam bebeberapa kejadian ada yang bertanya kepada saya.
“Mo,..Mo.” atau yang lain lagi “ Rom,.. rom…mau nanya nih..“ ada lagi yang menanyakan, “ Pas… kalau saya lagi ngejalani Novena lalu tidak bisa melaksanakan seperti yang sudah saya niati. Ada yang mengatakan saya itu punya niat setiap jam 12 doa novena ini. Ada lagi yang setiap jam tiga padahal saya sudah yang ke 6, saya sudah yang ke 7, yang lain lagi mengatakan saya yang ke 8. pas mestinya doa saya masih nyetir. Saya masih naik motor kan nggak bisa doa, apa novenanya batal ya? Apa novenanya nggak afdol apa mesti diulangi?
Sambil berkelakar saya menjawab. “Oaa wah… kalau begitu mesti diulangi karena itu tidak sesuai dengan rencana kan. Kalau nanti lima kali begitu lagi, ya ulangi lagi.” Wah yang tadi minta intensi karena masih jomblo kalau mengulang-ulang kapan mesti dapat jodohnya ya?”
Ada kejadian lain yang saya ingat sekitar 40 tahun yang lalu. Biasanya kalau sabtu sore kalau untuk orang-orang muda pada umumnya kan saat malam minggon, wakuncar. Tapi kalau di seminari di asrama itu sabtu sore setelah acara olahraga sebagian besar tidak cepet-cepet berbenah, mandi atau apa.. tapi masih duduk-duduk sambil ngobrol sana-sini, tapi tidak hanya sekedar duduk-duduk mereka menyemir sepatu. Ada juga yang menemani duduk sambil ngobrol. Ada yang lain juga nyuci, lalu ada sebagian yang nyetrika. Bukan karena malam minggon, karena yaitu tadi ndak ada acara malam minggon untuk para seminaris itu. Tetapi karena mereka akan memakai yang disemir itu pagi harinya waktu misa hari Minggu, mengapa demikian?
Nah biasanya mereka berpegang pada ketentuan seperti yang nampaknya sekarang itu banyak yang kurang begitu mengenal lagi, kurang begitu memperhatikan lagi. Selain ada sepuluh perintah Allah ada lagi lima perintah Gereja. Mungkin banyak yang muda tidak kenal lagi, di madah bakti saja sudah tidak ada, tapi di Puji Syukur untungnya masih ada.
Diperintah kedua dikatakan; “Ikutilah perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan jangan melakukan pekerjaan yang dilarang.” Nah karena itu biasanya diajarkan tafsirannya, “ pokoknya hari minggu tidak boleh kerja. Maka Tidak boleh nyemir, tidak boleh nyuci, tidak boleh nyetrika. Karena tidak boleh menurut lima perintah gereja tadi. Padahal sebetulnya yang dimaksud disanakan; “Jangan melakukan peker-jaan yang dilarang.” Pekerjaan yang dilarang itu tentunya mudah saya kira. Nyolong, ngrampok, membunuh itu kan jelas pekerjaan yang dilarang. Itu bukan hari minggu pun ya jangan dilakukan.
Nah pengalaman-pengalaman itu tadi. Memperlihatkan bahwa dalam menjalani hidup beragama mau ditumbuhkan dan dikembangkan sikap hidup rohani, yang mengarahkan orang kepada Tuhan. Dan itu dilakukan lewat lembaga. Dalam hal ini lembaga agama. Dengan hukum aturan, tata upacara, atau mungkin juga ditambah dengan pemahaman akan kisah-kisah suci seperti yang dapat kita baca dalam Kitab Suci itu sendiri. Jadi ada tujuan. Yaitu mengembangkan, menumbuhkan hidup rohani supaya orang semakin mengarahkan hidupnya kepada Allah dan ada sarananya. Yaitu kelembagaan dengan aturan hukum, tata upacara tadi. Tapi dalam kenyataan antara tujuan dan sarana saling tercampur bahkan tidak jarang sarana mendapatkan porsi perhatian jauh lebih banyak daripada tujuannya itu sendiri. Akibatnya orang hanya melihat pokoknya ada hal-hal yang harus dilakukan yang tidak boleh dilakukan, yang itu dilarang, yang itu tidak boleh dikerjakan.
Maka lalu sebetulnya perlu ada keseimbangan agar orang tidak mengesampingkan tujuan hanya demi melakukan hal-hal yang mengatur sarana yang membantu orang untuk melaksanakan usaha agar sampai ke tujuan.
Nah pembicaraan antara orang Farisi dan ahli Taurat yang di catat oleh Markus dengan Yesus tadi agaknya mau memperlihatkan hal seperti itu. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini adalah para pemuka agama yang berusaha melaksanakan hidup keagamaannya teru-tama dengan menga-jarkan dan menuntut mereka yang mau melaksanakan itu agar melakukan secara rinci secara detail. Memang menjalani hidup agama semacam itu jauh lebih mudah karena sudah ada aturan yang jelas. Ini boleh itu tidak boleh.
Misalnya ada yang berulang kali menanyakan baik lisan maupun juga kadang-kadang warta iman itu, boleh tidak komuni 2 kali? Pertanyaan itu sudah di jawab berkali-kali tetapi masih juga ditanyakan. Pokoknya aturannya boleh atau tidak, kalau tidak, tidak dilakukan. Orang tidak berpikir esensinya untuk apa hal itu.
Maka kalau Yesus kemudian memberikan tanggapan bahkan juga kritikan yang nadanya sangat keras. Terkait dengan pertanyaan yang dikemukakan tadi. Dengan mengutip apa yang dinubuatkan oleh Yesaya, “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu hai orang-orang munafik sebab ada tertulis bangsa ini memuliakan aku dengan bibirnya padahal hatinya jauh daripada-Ku, percuma mereka beribadah kepada-Ku sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” Dengan memberikan teguran semacam itu sebetulnya Yesus mengingatkan supaya orang tidak hanya terpancang melakukan hal-hal lahiriah kadang-kadang yang kecil-kecil yang remeh temeh seperti itu yang seakan-akan itu yang pokok itu yang menjadi tujuan. Lalu orang lupa untuk mulai berpikir dan merenungkan sendiri dalam batinnya, karena merasa sudah cukup melakukan itu. Sudah mengerjakan yang boleh, yang tidak boleh dihindari. Orang tidak berpikir lebih jauh lagi, tidak mau mencari mana yang sebetulnya baik, mana tidak baik untuk dilakukan. Mana yang semestinya benar, mana yang tidak benar, yang tidak boleh dikerjakan. Maka kalau Yesus mengatakan mereka orang munafik karena mereka hanya mau memperlihatkan hal-hal lahiriah tadi. Padahal sebetulnya yang mereka tegurkan kepada Yesus bagi para murid-Nya itu mestinya bukan kebiasaan untuk hidup keberagaman yang pada waktu itu berlaku. Karena untuk mencuci tangan sebelum makan itu lebih-lebih cara kesalehan para imam atau mereka yang melakukan kegiatan ibadah.
Barang kali seperti kalau anda ikut dalam perayaan Ekaristi lalu melihat pada waktu persembahan sesudah putra Altar membawakan hosti, anggur, air lalu juga imam mencuci tangannya, memang untuk menggambarkan mempersiapkan supaya nanti tangan itu bersih pada waktu harus memegang Tubuh Kristus. Tetapi bagi mereka ini sebetulnya mereka hanya mau melihat hal lahiriah yang harus dikerjakan dengan demikian kalau Yesus menegur mereka sebagai orang munafik karena mereka seakan-akan bersandiwara pokoknya asal sudah melakukan apa yang sudah diwajibkan selesai. Seperti juga misalnya kewajiban untuk mengikuti perayaan Ekaristi pada hari Minggu. Pokoknya kalau sudah datang ke gereja. Duduk mungkin di belakang tiang atau mungkin entah dimana, datangnya kapan juga tidak jelas, mungkin waktu persembahan baru datang, mungkin pas Bapa Kami juga baru datang, waktunya ngantre ikut ngantre pokoknya sudah ikut perayaan Ekaristi, itu kan berarti tidak berusaha untuk mengembangkan iman yang seharusnya ditunjukkan dengan ibadat semacam itu. Karena orang lalu melupa-lupa bahwa ibadah yang dilakukan semacam itu semestinya mengajak orang untuk berpikir. Berpikir bahwa perayaan itu adalah ungkapan syukur atas karya penyelamatan Allah dalam hidupnya. Dengan demikian orang melupakan tujuan yang pokok hanya melihat pokoknya asal sudah melakukan hal-hal kecil semacam itu.
Maka lalu dengan tegurannya Yesus masih menambahkan, “ segala sesuatu yang dari luar masuk ke dalam orang tidak dapat menajiskan dia. Lalu menyebutkan deretan bermacam-macam kejahatan kalau anda hitung lagi nanti ada 13. dan itu nampaknya bukan hal yang biasa, Yesus menantang orang untuk berpikir lalu bertindak dengan cara yang sama sekali berbeda bukan hanya melakukan apa yang lahiriah tapi sungguh-sungguh mengembangkan dalam batin supaya tujuan beriman, tujuan beribadah, lalu sampai membawa orang kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang sepele hal-hal yang sebetulnya tambahan sarana untuk mencapai tujuan tadi.
Untuk itu ada pengalaman yang lain juga yang sering kali masih dialami. Beberapa kali orang datang lalu dengan sungguh-sungguh minta, “ Romo mohon ya sungguh ini kami mengharapkan romo bersedia untuk misa dalam rangka memperingati seribu hari orang tua kami. Yang lain lagi seribu hari saudara atau famili kami. Karena ini peringatan yang penting untuk kami. Puncak dari semua peringatan kami sesudah itu lalu tidak melanjutkan, karena kalau sudah 1000 hari orang tidak perlu memperingati lagi kan pasti, berpikir, .. wah tidak masih, tapi memang seakan puncaknya disana. Kemudian masih ditambahkan nanti, ya Romo sungguh-sungguh minta tanggal sekian, ketika dilihat, “lho.. itu kan hari Sabtu, .. lho tanggal itu kan hari Minggu”.
“ia .. tapi kan 1000 harinya jatuh pada itu maka harus.”
Orang menentukan hari itu dan menuntut seakan-akan itulah satu-satunya kesempatan untuk merayakan. Memperingati seribu hari. Padahal saya mencoba menjawab,
“Yang menghitung 1000 itu siapa to..? apa yang sudah meninggal masih ngetung?”
Yha tidak, karena bagi yang sudah meninggal, yang berada pada kebadian seminggu yang lalu, sebulan yang akan datang bahkan setahun yang akan datang pun sami mawon. Hidup dalam keabadian kan tidak lagi ada pembatasan waktu. Maka orang lupa intensi yang paling utama, tapi menekankan pokoknya itungan seribu tadi. Lalu juga dalam beberapa kesempatan saya menawarkan jalan keluar kalau begitu minta intensi karena jatuhnya pada hari sabtu, atau hari minggu, minta intensi digereja supaya diujubkan mohon kedamaian bagi orang tua, bagi keluarga yang meninggal tadi. Memangnya kalau doanya dirumah itu lebih afdol. “Yang datang berapa toh.. 500 ratus, ya..”
“Oh.. ndak sampai romo rumah kami tidak cukup.” Maka paling-paling 100. 150, 200. kalau di gereja, yang mendoakan berapa? Ini saja saya kira lebih dari 750 mungkin lebih dari 1000. sudah berlipat-lipat kan yang mendoakan lebih banyak. Kalau merasa belum mantap lagi, pulang nanti undanglah warga lingkungan, mari kita sembahyangan lagi, tambah akeh yang berdoa, maka juga tentu akan lebih berarti doa-doa itu. Sering kali hal semacam itu kurang menjadi bahan pemikiran kita bahwa tujuan yang mau dimaksud adalah mengenang, memperingati, mendoakan orang lebih berkutat tambahan tadi, sekian hari, sekian minggu dan sebagainya.
Maka melalui bacaan hari ini kita diajak untuk belajar beriman juga secara cerdas. Lalu seperti yang di anjurkan oleh Rasul Yakobus, dalam bacaan pertama, yang kemudian juga, dapat kita lihat, pada sampul teks Ekaristi kita hari ini supaya menjadi pendengar dan pelaksana sabda, “Terimalah dengan lemah lembut, firman yang tertanam dalam hatimu yang berkuasa menyelamatkan jiwamu, tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya, pendengar saja, supaya lalu sabda Tuhan itu sungguh menjadi dasar hidup kita, yang membantu kita hidup beriman secara benar secara baik yang membawa dan mengarahkan kita kepada Tuhan sehingga hidup firman itu sungguh akan membawa keselamatan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar