Kotbah Romo Yosephus I. Iswarahadi, SJ

”Komunikasi yang Menguatkan.” Ekaristi Tgl. 16 Mei 2010 Injil Yoh 17 : 20 - 26 Tadi menjelang misa ini telah kami putarkan sebuah video Klip...

Rabu, 04 Maret 2009

Kotbah Romo RM Wisnumurti, SJ

Kotbah Romo RM Wisnumurti, SJ
“ Keluarga Berkat atau Kutuk ?”
Ekaristi Tgl 28 Desember 2008
Injil Lukas 2 : 22 – 40

Ibu Bapak, Saudari-Saudara terkasih dalam Tuhan, mengawali renungan saya ini, saya kira masih bisa kalau saya terlebih dulu menyampaikan Selamat Natal kepada anda semua. Dalam Kalender Liturgi dikatakan bahwa hari Minggu pertama sesudah natal dalam masa yang disebut Oktaf Natal jadi selama delapan hari sudah perayaan Gereja biasanya disebut salah satu Oktaf begitu, ditetapkan sebagai pesta keluarga kudus. Hari ini adalah pesta Keluarga Kudus itu. Saya kira setiap orang kristiani tahu apa itu Keluarga Kudus atau siapa yang disebut Keluarga Kudus, dengan mudah orang akan menyebut Maria, Yosef dan kanak-kanak Yesus. Tetapi apakah memang hari ini kita mau merenungkan riwayat hidup keluarga Nazaret itu. Mungkin tidak sepenuhnya demikian, kiranya Gereja punya tujuan dan maksud dengan perayaan Pesta Keluarga Kudus hari ini.
Pesta ini sendiri sebetulnya baru mulai dirayakan secara umum di seluruh Gereja pada tahun 1921 atas keputusan Paus Benediktus ke XIV. Paus kita sekarang ini kan Bendiktus juga kan? Yang keberapa sih? XVI jadi saya kira semua tahu, tidak salah.
Nah kalau hari ini sesuai juga dengan bacaan yang bicara mengenai Keluarga Kudus, Gereja ingin mengajak kita dan itulah tujuan dari pesta ini. Mendorong penghayatan semangat Kristiani di dalam keluarga-keluarga Katolik. Lalu ditampilkan keluarga Nasaret itu sebagai teladan bagi keluarga-keluarga orang beriman. Walaupun sebetulnya umat sendiri sudah cukup lama merayakan Keluarga Kudus itu bahkan sudah jauh sebelum penetapan resmi tadi. Sejak tahun 1630. Hanya saja mula-mula fokus perhatian yang diutamakan dipusatkan pada Santo Yosef sebagai teladan para bapak. Karena itu lalu juga muncul banyak perkumpulan bapak-bapak yang bersemangat untuk mengikuti teladan St. Yosef.
Dalam perjalanan selanjutnya Bunda Maria lalu juga ikut disertakan. Tetapi rupa-rupanya bukan hanya Yusuf dan Maria saja, ternyata dalam perjalanan selanjutnya ada keluarga lain yang ditampilkan juga sebagai teladan keluarga beriman yaitu Sakaria dan Elisabeth, tentunya bersama Yohanes Pembaptis anak mereka, atau juga St. Yoakim dan St. Ana tentunya bersama dengan Bunda Maria. Disamping itu tadi di dalam injil juga dua orang lain, yaitu Simeon dan Hanna. Pokoknya mereka semua yang dipandang ikut memperhatikan terlibat dalam mempersiapkan kedatangan kanak-kanak Yesus. Namun sebetulnya yang mau dipestakan terutama adalah para orang tua, terutama para orang tua sebagai pengasuh anak-anak.
Dalam perjalanan selanjutnya ada juga keinginan untuk menampilkan kanak-kanak Yesus sebagai teladan. Cuma kalau dipikir-pikir kalau kanak-kanak Yesus mau dijadikan teladan untuk juga pada kanak-kanak umumnya apa kira-kira yang mau diteladankan? Apakah kanak-kanak Yesus tidak pernah ngompol. Saya kira bayi-bayi juga ngompol kan biasa. Atau mungkin dalam pertumbuhan selanjutnya lain daripada yang lain saya kira tidak juga. Apalagi pada kalimat terakhir dalam Injil hari ini kan dikatakan, “Bayi itu bertambah besar dan menjadi kuat. Penuh hikmat dan cinta kasih Allah ada padanya. Catatannya sangat sedikit. Atau mungkin ada cerita lain yang diceritakan Matius ketika dibawa mengungsi ke Mesir tapi itu juga masih kecil. Atau ketika pada usia 12 tahun mulai diajak untuk ikut merayakan Paskah di Yerusalem, lalu meninggalkan diri di Yerusalem di bait Allah. Tapi saya kira kalau itu yang mau ditampilkan sebagai teladan mungkin malah mem-bingungkan. Kita semua kenal ceritanya, apalagi juga sering didoakan kalau berdoa Rosario salah satu rangkaian peristiwa yang direnungkan kanak-kanak Yesus ditemukan kembali di Bait Allah di Yerusalem. Gitu kan? Yang terjadi di sana sepertinya ketika orang tuanya menemukan kembali, anak ini kok tidak perduli. Ketika ibunya dan bapaknya yang sudah keroyo-keroyo sampai tiga hari tanya sana-sini kebingungan mencari, ketika ketemu tentunya senang. Lalu menegur menanyakan,
“Nak kenapa kamu berbuat demikian kepada kami?” Jawabanya saya kira tidak ada orang tua yang tidak senang jawab seperti itu.
“Ngapain kamu mencari aku. Aku kan mestinya ada di rumah Bapaku”. Apalagi yang dikatakan, maka lalu penginjil hanya mencatat,
“Maria mencatat semua perkataan itu dalam hatinya”. Karena juga tidak dong, tidak tahu. Orang tua juga saya kira juga ndak senang, kalau anaknya yang masih remaja memberi jawaban seakan-akan tidak memperdulikan orang tuanya. Maka memang yang mau ditampilkan sebagai teladan pasti bukan kanak-kanak Yesus itu tadi tetapi contoh hidup orang tuanya. Maka mungkin dengan menampilkan dalam bacaan pertama tadi,
Abraham mulai sebagai contoh yang sangat baik, karena lalu Abraham oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma disebut sebagai Bapa semua orang beriman. Abraham ditampilkan untuk menjadi contoh iman kepercayaannya yang begitu kuat bahkan ketika tidak ada sesuatu pun yang bisa dipakai sebagai pegangan untuk percaya untuk berharap Abaraham tetap percaya. Mungkin pengalaman itu yang sering kali yang justru menjadi pengalaman iman kita sehari-hari. Pengalaman yang konkret yang kita alami.
Kita sering kali tidak mampu menangkap apa sebetulnya yang menjadi kehendak Tuhan. Sudah berusaha ke sana-kesini dalam keadaan sulit mencoba mencari pekerjaan melamar ke sana-sini belum dapat. Tapi ketika melihat lho kok temannya itu kok rasanya kok gamping. Melamar ke sana dapat, melamar ke situ dapet, Tuhan itu nggak adil, mungkin itu seringkali yang menjadi pikiran kita. Tetapi Abraham tetap percaya karena dia yakin bahwa yang memanggil dia, Dia juga yang akan menuntun jalan kehidupannya.
Maka memang yang pertama lalu kita bisa belajar mohon agar kita juga berani berusaha dan mempercayakan diri kepada Tuhan sepenuhnya seperti sikap Abraham itu. Atau juga hal lain yang ingin disampaikan ajakan untuk mencoba mendalami sikap-sikap hidup mereka ini. Terutama Maria dan Yosef bagaimana mereka menunaikan tugas-tugas harian yang sederhana dan biasa tetapi dengan tekun dan penuh kesetiaan. Ini yang sering kali juga tidak mudah untuk diteladani tidak mudah untuk diikuti lebih-lebih di masa sekarang. Bagaimana kita bisa memperoleh hidup yang memadai.
Masa dimana sekarang ini banyak yang mengalami PHK kehilangan pekerjaan maka tentu sulit kalau harus berusaha meneladan contoh yang ditampilkan tadi. Maka kiranya dalam kesempatan ini selain kita mau melihat dan merenungkan kita juga bisa mohon untuk berani belajar sedikit demi sedikit sehingga mampu membangun sikap seperti mereka.
Kalau anda masih menyimpan teks Ekaristi Malam Natal pada bagian terakhir di tampilkan di sana juga dimasukkan di sana pesan Natal bersama PGI dan KWI. Yang diberi judul Hiduplah dalam Perdamaian oleh Semua Orang. Ajakan untuk umat Katolik mau terlibat dalam kehidupan bermasyarakat, di sana juga dikemukakan kutipan-kutipan terutama untuk membangun sikap-sikap hidup sebagai orang Katolik, sikap-sikap hidup yang diharapkan memberi kesaksian. Tapi saya kira sikap-sikap itu hanya bisa terbangun terbentuk kalau sudah dimulai di dalam keluarga. Kalau di dalam keluarga tidak pernah ada usaha untuk menanamkan nilai-nilai itu tadi bagaimana bisa diwujudkan dalam hidup bermasyarakat? Maka tahun 1971 penerbit CLC (cipta loka caraka) salah satu penerbit Katolik pernah mengeluarkan buku kecil yang berjudul Keluarga retak masyarakat rusak. Saya kira itu berdasarkan suatu pengamatan yang sungguh jeli, bahwa masyarakat yang dibangun dari keluarga-keluarga itu, tentu membutuhkan keluarga yang benar, keluarga yang baik yang mempunyai nilai-nilai hidup supaya bisa membangun masyarakat yang benar dan juga masyarakat yang baik.
Tapi kalau pilar-pilar masyarakat tadi sudah tidak baik, maka juga sulit untuk diwujudkan suatu masyarakat yang benar masyarakat yang baik. Saya kira Gereja pun juga merupakan masyarakat yang dibangun dari keluarga–keluarga itu. Maka mau tidak mau tentu juga mulai dari pembiasaan hidup dari apa yang dijalani setiap hari yang kecil-kecil yang sederhana, tetapi kalau dijalani dengan ketekunan dan kesetiaan akan membangun sikap hidup dan nilai hidup yang benar dan yang baik. Maka tentu membutuhkan waktu, membutuhkan proses, membutuhkan usaha, maka bisa menjadi bahan permenungan bagi kita seraya merenungkan keluarga kudus ini, “Bagaimana kita bisa membangun keluarga-keluarga kita menjadi keluarga yang beriman, keluarga yang berani pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, apakah misalnya, sekarang ini masih banyak keluarga-keluarga yang mempunyai kebiasaan berdoa bersama, atau “Yo mboh luweh karepmu arep sembahyang apa ora urusanmu”. Kadang-kadang ada orang tua yang saking sibuknya bahkan sendiri juga tidak sempat untuk berdoa. Padahal anak-anak hanya bisa belajar kalau orang tuanya juga melakukan itu. Bukan hanya menyuruh,
“Kamu belum berdoa sekarang berdoa, Tak tunggoni”. Kalau begitu anaknya berdoa karena takut, tetapi kalau orang tua, “Mari kita bersama berdoa”. walaupun barangkali sebelum makan sudah makan cuma mendoakan Bapa Kami Salam Maria, tetapi itu menjadi sesuatu pembiasaan hidup yang dalam bahasa Keuskupan Agung Semarang di tahun-tahun terakhir ini ajakan untuk membangun Habitus Baru. Sikap hidup, bukannya karena baru belum pernah dibuat, tetapi membangun sikap yang benar. Membangun nilai-nilai yang benar atau barangkali juga ada beberapa contoh lain yang bisa kita lihat, bisa kita alami seringkali orang tua mau berusaha mengajak anaknya ke gereja. Tapi sekedar mengajak, tidak mengajarkan juga, tidak mendampingi dan membina; memberi pemahaman sehingga, “Ah, daripada ngganggu di dalam gereja yo wis biar jalan-jalan, lari-lari di luar sana pokoknya tidak menggangu di gereja, tetapi tidak pernah ditanamkan sesuatu diajarkan sesuatu diajak untuk mulai belajar menahan diri, belajar juga memberi perhatian, belajar berdoa, belajar ikut bersama umat yang lain. Sehingga kadang-kadang juga diluar pokoknya ada yang menemani mungkin Baby Sister, mungkin pembantunya, mungkin kakaknya. Lalu seringkali juga orang tua ngalah, karena daripada merengek terus, nangis terus minta balon, minta mainan, minta minum, bahkan juga seringkali orang tuanya pun ah.. mumpung saya di luar minum dulu kan belum menyambut komuni, atau barang kali juga yang beberapa kali terjadi karena orang tua tidak berusaha memberikan pemahaman membiasakan anak mengenal juga dengan benar dan baik, ada yang maju menyambut komuni, lalu ketika orang tuanya mau menyambut Tubuh Kristus, anaknya merengek dan menangis lalu dicuilke, saya kira ini juga bukan pendidikan, bukan pembinaan sikap hidup beriman yang benar dan baik, padahal kadang-kadang orang tua tidak merasa ini hal kecil hal biasa, tapi karena kadang-kadang biasa itu lalu sering kali terlewatkan kurang mendapatkan perhatian maka membangun sikap hidup membangun dan menanamkan nilai yang benar tentu memerlukan juga pembiasaan terus menerus dalam kehidupan sehari-hari, karena itu Ibu dan Bapak sekalian pada pesta Keluarga Kudus ini kita lalu bisa bersama berdoa memohon bukan hanya supaya bisa mencontoh apa yang dibuat oleh Keluarga Kudus, tetapi kita juga bisa belajar sehingga berani mengusahakan membangun sikap menanamkan nilai-nilai hidup Kristiani dalam keluarga-keluarga kita, sehingga sungguh akan terbangun Habitus, sikap hidup beriman yang benar yang berani menyerahkan penyelenggaraan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan, karena dilandasi dengan sikap dan nilai-nilai yang benar tadi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar