Kotbah Romo Yosephus I. Iswarahadi, SJ

”Komunikasi yang Menguatkan.” Ekaristi Tgl. 16 Mei 2010 Injil Yoh 17 : 20 - 26 Tadi menjelang misa ini telah kami putarkan sebuah video Klip...

Selasa, 02 Juni 2009

Kotbah Romo Joanes Haryatmoko, SJ

Ekaristi tgl 15 Maret 2009
Kotbah :
Romo Joanes Haryatmoko, SJ
” Yesus mengajarkan korban yang benar”
Injil Yoh 2 : 13 – 25

Saudara-saudara yang terkasih, ada dua hal yang menarik dalam Injil hari ini, yaitu pertama tentang mengapa Yesus menyucikan Bait Allah dan yang kedua mengapa Yesus mengatakan rombaklah Bait Allah dan dalam tiga hari Aku akan mendirikanNya kembali.
Untuk masuk memahami dua hal ini baik kalau kita melihat konteksnya. Kalau kita membaca di dalam Kitab Perjanjian Lama terutama dalam kitab Imamat bab I – VII di sana dijelaskan dengan detail tentang peraturan-peraturan korban. Ada korban bakaran, korban sajian, korban penghapus dosa, korban keselamatan, korban penebus salah. Dan masing-masing korban itu harus memberikan korban binatang yang berbeda-beda. Maka tidak mengherankan kalau Bait Suci itu menjadi pasar hewan. Dan yang kedua mengapa menjadi tempat penukaran uang. Karena uang Romawi tidak boleh dibayarkan di dalam bait Allah, maka setiap orang harus menukarkan uang dan yang kedua semua yang masuk di Bait Allah harus membayar setengah Sikal padahal tidak ada pecahan uang Setengah Sikal. Maka mereka harus menukarkan uang Sikal itu. Seperti dikatakan dalam kitab Keluaran; ’Setiap orang yang berumur lebih dari 20 tahun harus mempersembahkan persembahan khusus kepada Tuhan sebanyak Setengah Sikal.
Maka saudara-saudara kita bisa memahami mengapa Yesus marah mengapa? Mengapa Yesus mengusir mereka itu, karena Bait Allah menjadi pasar hewan dan tempat penukaran uang. Maka ketika Yesus mau membersihkan Bait Allah sebetulnya Yesus juga menginginkan sesuatu yang lebih dalam. Yesus protes melawan seluruh sistem korban di Bait Allah penyembilhan binatang. Praktek jual beli binatang. Mencari keuntungan yang berlebihan. Lalu Bait Allah tidak ubahnya seperti tempat para pemeras, penipu dan pencuri. Maka Yesus menginginkan supaya itu diubah karena bukan korban binatang itu yang penting dan menurut Yesus adalah perubahan sikap dan perubahan hati kita. Seperti dikatakan Nabi Hosea; ”Sebab aku menyukai kasih setia, bukan korban sembelihan, aku menyukai kedekatan dengan Allah lebih dari korban-korban bakaran”. Jadi dengan demikian Yesus menuntut kepada kita, bukan pertama-tama korban yang diluar, lalu orang kalau sudah membuat kurban seakan-akan sudah beres tanpa mengubah dirinya. Di sini justru Yesus mengajak kita untuk mengubah supaya kita menjadi korban yang benar. Nabi Maleakhi dengan indah mengatakan, ”Tuhan mentahirkan orang Lewi, menyucikan mereka supaya mereka menjadi orang-orang yang mepersembahkan korban yang benar kepada Tuhan. Maka saudara-saudara ketika Yesus ditantang untuk menunjukkan tanda bahwa Dia mempunyai otoritas, Yesus dengan keras mengatakan; ”Rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikanNya kembali.” Jawaban Yesus ini sungguh-sungguh menantang dan sebetulnya mau menantang sistem upacara korban yang berlaku waktu itu.
Dan ada alasannya seperti dikatakan Yesus, ketika dia bercakap-cakap dengan perempuan dari Samaria dalam Injil Yohanes, ”Kata perempuan itu kepadaNya, ”Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan bahwa Yerusalem-lah tempat orang menyembah Tuhan. Jawab Yesus kepadanya, ”Percayalah padaKu, hai perempuan saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa, bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Karena apa? Dengan kematian Yesus dengan pengorbanan Yesus dan kebangkitanNya tidak lagi terikat pada tempat tetapi Yesus itu sendiri menjadi korban. Karena apa? Kisah para rasul dengan indah mengatakan; ”Yang maha tinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia.”
Maka saudara-saudara lalu berbicara apa kepada kita hal ini. Yaitu sebagai pengikut Kristus kita sendiri diajak untuk menjadi korban rohani dan menjadi Bait Allah itu sendiri seperti Kristus. Dalam surat pertamanya St. Petrus mengatakan; ”Biarlah kamu dipergunakan, sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani bagi imamat kudus. Untuk mempersembahkan persembahan rohani berkat Yesus yang berkenan kepada Allah. Maka saudara-saudara secara lebih dekat lagi, secara konkret, kita sebetulnya menggantikan korban binatang itu. Kita juga harus mengorbankan bukan lagi binatang yang dikorbankan tetapi egoisme kita yang harus dikorbankan. Kepentingan diri kita, yang harus dikorbankan, rasa sakit kita. Orang kalau mencintai tidak pernah merasa sakit, berarti anda belum mencintai. Dan juga pengampunan. Dan bait Allah itu adalah berarti bagi kita adalah pembangunan rumah rohani kita. Artinya apa rumah rohani bagi yang lain, artinya kita diajak untuk menjadi tempat yang nyaman bagi orang lain. Kita menjadi tempat mengadu bagi orang lain. Supaya orang lain mudah minta bantuan kepada kita. Saya tidak mengancam orang lain itulah orang yang menjadi bait Allah rumah rohani, caranya bagaimana?
Sederhana sebetulnya. Kita membiasakan dengan menggunakan kata-kata, setiap kata itu bisa menyingkirkan orang lain, mengancam orang lain, atau orang lain merasa nyaman.
Kalau ada orang yang baru pertama ke Bali lalu cerita kepada anda, lalu andanya bertanya; ”Berapa hari kamu disana?”
”Tiga hari.”
”Saya seminggu lebih. Kamu mau cerita apa?”
Orang takut mau cerita. Orang baru saja menoton film Slum dog Millionaier. Baru cerita ”Saya baru nonton.”
”Saya sudah muter tiga kali.”
Orang takut akan berbicara, apakah kita menjadi tempat nyaman bagi orang lain, apakah kata-kata kita itu kita timbang kalau berbicara dengan orang lain. Ataukah kata-kata itu menjebak orang lain.
Ada cerita itu, di dalam sebuah bis ada orang Suter yang cantik. Biasa pemuda itu suka usil, menggodai suster itu karena tidak tahan diperhentian berikutnya Suster yang cantik itu keluar. Supir bis yang perempuan, melihat cowok yang ganggu itu agak lumayan cakep lalu mengatakan; ”ee... Kamu caranya nggoda norak, kamu kalau ingin nggoda Suster itu, Suster itu senang berdoa di makam di dekat gereja itu lho. Malam hari kamu datang saja pakai pakaian putih mengaku malaikat Gabriel, suster itu senang sekali kalau dengan malaikat Gabriel.”
”Yang bener”
” Ia.” Malam itu benar, dia datang pakai jubah putih ada suster yang sedang berdoa. Lalu mendekati; ”Saya malaekat Gabriel.” wah... senang sekali susternya.
Lalu setelah begitu dia mengatakan;
”Saya ingin mencium kamu.”
Dan susternya diam saja dicium, senang saja. Setelah di cium, pemudanya bilang; He ee suster, suster tidak mengenali saya ya. Saya pemuda yang tadi siang menggoda suster.”
Yang berpakaian suster menjawab,
”Kamu tidak mengenali saya ya, saya supir Bis.” Ger....ger...
Saudara-saudara, kalau bahasa itu lalu digunakan, hanya untuk menjebak. Atau bahasa itu kita gunakan untuk mencelakakan orang lain. Kita bukan korban rohani, kita bukan bait Allah. Karena membuat arah orang lain tidak nyaman, tidak aman dengan kita. Kata-kata kita, harus membuat orang lain nyaman. Kalau orang membutuhkan sesuatu, mebutuhkan suatu dukungan jangan malah mendapatkan kritik.
Ada teman yang datang mengeluh; ”Waduh gimana ya, karena saya itu kebanyakan anti biotik, gigi saya itu kuning semua.”
E.. malah dibilang; ”Kalau giginya kuning cocoknya pakai dasi coklat.” ger..
Saudara-saudara kadang-kadang ada orang yang butuh hiburan, butuh dukungan datang kepada kita, tetapi kadang-kadang kita tidak cukup bisa mendengarkan dan mengibur. padahal kata-kata itu kan kita itu tidak harus bayar. Tetapi mebutuhkan latihan supaya orang orang lain merasa nyaman dengan kita. Juga kita dilatih bagaimana menolak dengan cara yang halus, menolak yang tidak menyakitkan itu juga bisa.
Saya pernah cerita, suatu hari ada seorang muda-mudi yang baru pertama kalinya pacaran. Habis nonton film pokoknya ngantar sampai di depan rumah, baru pertama kali lalu ingin mencium. Ceweknya dengan pinter mengatakan; ”Aaaa, kamu tidak tahu ada tiga tempat saya senang dicium.”
Lalu cowoknya penasaran; “Dimana-dimana ,di mana?”
Di jawab; “Di Tokyo, Paris dan NewYork.” Ger... ger...
Saudara-saudara, kita kadang-kadang kalau punya rasa humor kita bisa menolak orang tanpa harus menyakitkan hatinya. Kita bisa membantu, jangan sampai kata-kata itu hanya kita gunakan, untuk mencari kepentingan diri kita sendiri. Kata-kata dibalik kata- kata kita menyembunyikan apa maksud dan tujuan kita sendiri.
Pernah suatu hari ada cowok cerita dengan pacarnya; ”Hai malem minggu ini seru.”
”Kenapa seru.”
”Pokoknya seru, ada konser.”
”Yang bener.”
”Ia, saya sudah beli tiketnya. Saya beli tiga.”
”Kok tiga.”
”Satu untuk ayahmu, satu untuk ibumu, satu untuk adikmu. Kita di rumah saja seru.” ( gerr... ger...).
Saudara-saudara, kalau caranya kata-kata begitu ya lama-lama orang lalu menjadi waahh ini hanya kepentingannya sendiri saja kalau ini dipakai.
Maka saudara-saudara kita harus berani jujur mengatakan. Kemampuan kita untuk menumbuhkan rasa kepercayaan kepada teman kita itu suatu latihan. Itu bukan sesuatu kalau saya ingin, saya bisa, tidak. Karena kemampuan memilih kata-kata yang menghibur dan memberi rasa kepercayaan itu adalah sesuatu yang harus kita latih setiap hari. Jangan seperti seorang dokter ini. Suatu hari, ada pasien yang datang; ”Dokter, semenjak saya kena diabetes ini saya sering mudah lupa dokter, kalau sudah parkir mau balik cari mobil saya, saya itu lupa. Mau ngantar anak saya itu, kesekolah saya itu lupa sekolahnya dimana? Saya itu pernah mengantar isteri belanja pulangnya saya sendiri, isteri saya tinggal. saya lupa kalau mengantar isteri saya, kenapa ya dok, apa saran dokter”
Dokternya langsung menjawab, ”Ahh... mumpung masih ingat, bayar dulu uang periksanya ya.” Ger... ger...
Saudara-saudara kalau selalu hanya kepentingan kita yang kita cari keuntungan, kata-katapun juga akan selalu mencurigakan dan tidak memberikan suatu rasa aman. Maka saudara-saudara kalau tema kali ini adalah tema kita untuk orang muda memberdayakan orang muda dalam hubungan lintas iman. Sebetulnya menjadi menarik apa artinya kalau kita menjadi Bait Allah menjadi korban rohani bagi yang lain. Hubungan dengan saudara-saudara kita yang beragama lain itu adalah hubungan bukan hanya suatu bentuk bahwa ini supaya hidupnya nyaman, tidak. Tetapi itu sungguh-sungguh suatu panggilan hidup. Kalau saya mau menggunakan istilah, bahwa kalau kita dipanggil menjadi Bait Allah itu artinya, kita dipanggil menjadi karya seni. Sebagai orang beriman kita dipanggil menjadi karya seni. Mengapa karya seni. Karya seni itu siapapun orangnya akan menghargai. Tidak pernah ada sekat-sekat di dalam karya seni. Dengan demikian kita justru menjadi orang yang beriman, yang bersunguh-sungguh kalau kita mendalami iman kita secara otentik, kalau kita mau terbuka bagi mereka yang beragama lain. Karena itu berarti saya tetap berakar pada iman saya, tetapi saya terbuka bagi banyak orang. Tetapi kalau kita berpikir berjumpa dengan agama-agama lain janganlah berpikir teologi pertama-tama, justru tidak.
Seorang pemikir bernama Riceur mengakatan; ”Gunakanlah, apa yang disebut analogi permainan. Di dalam analogi permainan itu apa? Kalau orang bermain, orang tidak terlalu serius, orang tidak terikat oleh hirarki sosial. Orang tidak takut pada sanksi sosial. Sehingga ada kebebasan, ada kreativitas. Saya memberi contoh sederhana. Kalau misalnya suatu ketika ada Die Natalis di Universtias, lalu kita bermain ada pertandingan sepak bola antara dosen dan mahasiswa. Kalau mahasiswanya waktu itu main melawan dosen sedang bawa bola, lihat dosennya yang killer.., nggak bisa dong, bolanya di bawa; ”Pak silahkan kalau mau masukkan?”
Ya namanya tidak bermain. Kalau bermain adalah saya sungguh-sungguh lepas dari ketakutan akan sanksi sosial, ketakutan akan hirarki sosial dan kita keluar dari formalitas dan hidup lebih bebas. Dan di dalam kebebasan kreatifitas itu menjadi lebih hidup. Maka saudara-saudara kalau kita ingin menjalin hubungan dengan orang yang beragama lain mulailah analagi permainan. Yang sederhana, main musik bersama, bertanding sepak bola. Kemping bersama, berjumpa secara informal, makan sate bersama, dan sebagainya. Itu yang akan mencairkan hubungan itu.
Saya sudah 12 tahun mengajar di UIN Sunan Kalijaga. Hubungan saya dengan dosen-dosen di sana sangat baik. Dan saya sering diminta bantuan untuk mereka membantu mengajar dan sering-sering ikut menjadi pembimbing dari mereka. Tetapi karena apa? Karena kita tidak membawa bahasa yang Eklusif, bahasa kita membuka, bahasa kita memberikan kemungkinan orang lain merasa nyaman bahwa kita bukan orang fanatik. Maka saudara-saudara kita diundang dengan demikian supaya kita juga mejadi karya seni. Semakin dalam iman kita semakin terbuka kita kepada sesama kita Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar